Kamis, 13 Agustus 2009

Antara Aku, Lie Chun dan Hera (part4)



Setibanya aku di tempat Lie Chun hari telah mulai gelap (benarnya sih
dah gelap banget), tapi berhubung sudah di niatin ya tetap saja aku
nekat bertandang. Aku turun dari MB Brabus S73 (CL600 Body) milik
pamanku (karena aku kost di rumahnya). Padahal amit-amit seumur hidup
aku belum pernah naik mobil setan itu (karena larinya seperti setan
dan harganya mungkin cuman utk orang yg sekaya setan). Lagipula aku
terbiasa berangkat kuliah naik angkot jadi rada kagok juga. Tapi
berhubung udah malam dan mulai jarang ada angkot yg lewat serta
kebetulan mobil yg ada cuman itu jadi kupinjam saja dengan alasan isi
bensin.

Perlahan kubuka pagar pekarangan tempat kostnya yg terletak di kawasan
elit kota Bandung. "Hmm nampaknya tidak di kunci nih" pikirku, lalu
perlahan aku berjalan masuk. Sebenarnya sih rada ragu-ragu juga
apalagi di pintu pagar depan di tempel tulisan "Awas Anjing Galak"
lengkap dengan gambar herder yg lidahnya menjulur seperti kena rabies.
Tapi kupikir masuk sajalah tokh pengalamanku bertandang ke rumah Hera
yang pagar depannya ada gambar serupa juga ternyata cuman bohong-
bohongan belaka. Akan tetapi kalau Hera sih memang si Blecky udah mati
di culik sama orang Lapo Tuak dekat rumahnya... kemana lagi kalau
nggak udah jadi ampasnya orang Batak, he... he... he... (sorry buat yg
Batak aku masih ada keturunan Batak juga koq).

"Hmm... terus terang perkarangan rumahnya terlihat sepi, waduhhh kacau
juga nih... nggak ada orang entar dikirain rampok lagi," runtuk
diriku. Tapi karena ada cahaya yg lumayan benderang dari dalam rumah
berarsitektur Belanda tersebut jadi ya aku terus saja berjalan masuk.
Pintu masuk yang terbuat dari kayu kuno yang sangat besar tersebut
tampak kokoh dan terkunci rapat. Perlahan kuketok-kan ... "waduh
keras juga nih, dari kayu jati rupanya", pikirku.

Lama tak ada tanggapan. Lalu perlahan ku dengar langkah kaki setengah
agak di seret seperti orang malas berjalan ke arah pintu... lalu
dengan suara agak berderit pintu di tarik terbuka... dan alangkah
terkejutnya orang tersebut karena melihat yang datang adalah aku.
Akupun tidak kalah terkejut karena yang membuka ternyata adalah Lie
Chun sendiri. Sejenak kami saling terlongo dan terdiam tidak tahu
harus berkata apa. Mungkin lebih kayak dua orang yang sama-sama naksir
dan nggak nyangka ketemuan. Tapi terus terang ini keadaannya beda
karena aku dan Lie Chun bukan sepasang kekasih ataupun orang yg diam-
diam sedang kasmaran tapi malu-malu meskipun di salah satu pihak ada
rasa cinta.

Lantas aku berinisiatif terlebih dahulu membuka suara. Kupikir tokh
mendingan ngomong duluan daripada dianya keburu banting pintu. Apalagi
dalam pikiranku Lie Chun belum cukup dewasa terutama dalam menerima
kenyataan hidup. "Lie... aku datang ke sini untuk..." lalu "Plakkk..."
belum sempat kata-kataku selesai kurasakan pipiku panas dan pedas di
iringi kata-kata "bangsat...." Dari bibir mungil milik Lie Chun yang
langsung berlari masuk ke dalam tanpa sempat menutup pintu lagi.

Terus terang aku sempat terlongo-longo mendapat perlakuan seperti itu.
Belum pernah ada yg memaki aku seperti itu apalagi sampai menampar
segala, perempuan lagi. Namun kesadaranku segera pulih terutama karena
mengingat misiku ke tempat ini adalah untuk meluruskan persoalan
sekaligus memenuhi mandat dari Hera kekasihku yang menginginkan agar
hubungan kami bertiga pulih kembali seperti dulu saat aku belum jadian
dengan Hera. Aku segera mengejar masuk ke dalam sembari menutup pintu
agar tidak terlalu mencolok terlihat ke luar kalau-kalau kebetulan ada
yg melihat. Namun Lie Chun terus berlari ke tangga utama dan naik ke
atas. "rupa-rupanya kamarnya di atas nih," pikirku sambil berjalan
cepat mengikutinya. Namun ketika Lie Chun masuk ke dalam kamarnya ia
segera membanting pintu kamar tersebut sehingga langsung tertutup.
Dalam hati aku menjadi ragu. "Di terusin nggak ya? Kalau di terusin
terus entar teman-teman kostnya teriak rampok bisa celaka aku, tapi
kalau entar masalahnya tambah kacau gimana?" pikirku dalam hati.

Sedang ragu berfikir demikian tiba-tiba aku mendengar isak tangis dari
dalam kamar Lie Chun. "Waduh celaka deh nih anak sudah pakai acara
nangis segala," umpatku kesal dalam hati. Lalu aku segera membuka
pintu kamarnya secara perlahan-lahan agar tidak terdengar dan kututup
secara perlahan juga. Kulihat Lie Chun sedang berlutut di tepi ranjang
dengan kepala yang di benamkan ke dalam bantal. Perlahan dengan tangan
agak bergetar dan juga rasa ragu-ragu kusentuh pundak Lie Chun. Namun
ia malah semakin membenamkan wajahnya dalam bantal dan menangis
sekeras-kerasnya. "Wah kalau sudah begini mampus deh", pikirku dalam
hati. Terus terang aku tidak punya pengalaman meredakan tangis wanita
terutama karena ibuku sendiri jarang menangis ataupun terlihat
menangis. Juga karena aku sebagai seorang anak lelaki pertama yang
memiliki jarak kelahiran yang cukup jauh dari adik-adikku. Jadi
sebelum mereka menjadi remaja aku sudah keburu merantau ikut paman
sejak SMA.

Jujur saja aku sebenarnya sudah bingung sekali menghadapi ulah Lie
Chun apalagi di tambah pakai acara nangis bombay kayak gini. Mending
nonton film "Salam Bombay" daripada liat orang nangis bombay begini.
Di antara kebingunganku akhirnya kunekatkan untuk membelai rambut Lie
Chun yang kala itu sedang tidak di ikat atau di gulung ke atas seperti
biasanya. Rambut yang halus panjang terurai sebahu itu ku belai-belai
dengan lembut. Tercium oleh ku semerbak harum rambutnya. "Wahhh koq
malah jadi kayak begini sih" pikirku menyadari apa yang sedang
kuperbuat. Namun ku rasa apa yang kuperbuat belum bisa di kategorikan
sebagai bentuk penyelewangan ataupun ngelaba, karena niatku benar-
benar tulus untuk meredakan tangisnya. Karena meskipun gahar dan macho
begini aku terus terang paling tidak kuat mendengar tangis perempuan.
Rasanya seperti mendengar ibu sendiri yang sedang menangis. Oke lanjut
ke cerita semula.

Namun tangis Lie Chun tetap keras terdengar sehingga semakin menambah
kepanikan dan kebingunganku saja. Akhirnya sembari membelai lembut
rambut Lie Chun akupun mati-matian menenangkannya "Lie Chun... diam
dong... kamu koq nangis sih... Memang ada masalah apa... Aku terus
terang minta maaf kalau seandainya menyakitimu." ujarku sembari
berusaha menenangkannya. Kata-kata itu dan beberapa kata-kata lainnya
ku ucapkan berulang kali agar ia tenang dan mau meredakan tangisnya.
Syukurlah perlahan-lahan tangis Lie Chun pun mereda. Akhirnya ia hanya
terisak-isak perlahan saja dengan wajah yang masih dibenamkan di dalam
bantal. Aku hanya diam sambil terus membelai rambutnya agar ia semakin
tenang.

Setelah beberapa menit kemudian, nampaknya Lie Chun sudah bisa tenang.
Hanya sesekali ia sesungukan. Akan tetapi wajahnya masih belum di
angkat. Kupikir ia pasti merasa malu. Namun agar tidak menjatuhkan
mentalnya aku tetap diam duduk di sisi ranjang sembari terus mengelus
rambutnya yang wangi itu.

Cukup lama juga kami dalam posisi seperti itu di mana kami berdua
saling diam-diaman sembari aku tetap mengelus rambutnya dan ia tetap
membenamkan wajahnya di bantal yang sudah basah oleh air matanya.
Sampai akhirnya tangisnya berhenti dan ia perlahan mulai mengangkat
wajahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar