Kamis, 13 Agustus 2009

Aku dan Ratih (1)

Ratih adalah adik kelasku. Dia angkatan 96 sementara aku sendiri
adalah angkatan 94. Aku berkenalan dengannya ketika saat itu kita
bersama menjadi panitia disebuah pameran.
Ratih sebenarnya tidak terlalu cantik, tapi cukuplah manis. Kulitnya
agak sawo matang. Tingginya sekitar 165-an cm. Bertubuh padat,
payudaranya tidak terlalu besar malah cenderung kecil tapi berputing
besar, perutnya liat dan pinggulnya OK banget, pantatnya gedhe dan
penuh padat. Selangkangannya empuk, hangat dan berambut agak jarang
sehingga lipatan-lipatan daging vaginanya terlihat jelas bergelambiran
menutupi lubang vaginanya yang dalam dan penuh dengan denyutan-
denyutan kuat. Klitorisnya besar dan tampak menonjol merah tua
berkilat jika bibir-bibir yang menutupinya dijembeng.


Secara umum aku telah berteman dengannya nggak terlalu lama, tapi
sikap permisifnya telah membawaku 'merasakan' kehebatan tubuhnya. Aku
bahkan nggak harus berpacaran dengannya untuk bisa merasakan betapa
ketat dan liatnya tubuhnya.
Kejadiannya terjadi pada suatu malam sekitar jam 20.00-an di kamar
mandi suatu gedung pertemuan yang besar dikotaku. Ketika itu Ratih
memintaku untuk mengantarnya pulang karena dia sedang menjaga pameran
disana. Aku datang disana sekitar jam 19:45-an dan melihat pengunjung
pamerannya begitu banyak. Selain Ratih disana sebenarnya masih ada 4
orang yang lain yang juga bertugas menjaga pameran. Sampai suatu saat
Ratih memintaku untuk mengantarnya kekamar mandi dibagian lain dari
bangunan itu. Maklum selain area itu besar, juga terkenal katanya agak
angker.
Kami berdua menuruni tangga yang menuju tempat pameran. Dan berjalan
berduaan menuju bagian belakang dari bangunan itu.
"Rat, katanya disini angker ya!" Aku menggodanya sambil menunjuk
sebuah bangunan yang berbentuk seperti rumah kecil dengan pintu-pintu
seperti sel penjara.
"Ih Mas Ari, nggak ah!" Dia mendekat dan mencubitku dan kami berdua
berjalan terus sambil ketawa-ketawa. Akhirnya sampailah kami dikamar
mandinya. Lampunya mati semua aku mencari semua saklar dan akhirnya
ketemukan sebuah yang menyalakan lampu kecil diatas dua kamar mandi
yang terpisah dinding setinggi sekitar 2 meteran.
"Tuh lampunya udah nyala, sana gih!"
Ratih masuk kamar mandi dan sebentar kemudian aku mendengar suara
seperti mendesis atau seperti kran yang ditutupi separuh lubangnya
dengan tangan sehingga airnya memancar. Itulah bunyi cewek kalo lagi
kencing. Karena gelap suara itu terdengar jelas sekali.
Sebentar kemudian suara siraman-siraman air terdengar dan tak berapa
lama kemudian Ratih keluar dari kamar kecil itu. Entah kenapa suara
desisan air tadi membuat kontolku agak menegang. Bayanganku suara
mendesis seperti hanya keluar dari lubang yang sangat sempit. Nah
unsur sangat sempit inilah yang membuatku tegang. Padahal sempitnya
lubang kencing cewek khan belum tentu menandakan sempitnya lubang
vaginanya.
Ratih mendorong punggungku dari belakang karena aku menunggunya
didepan pintu ruangan kamar mandi itu dan melihat kedepan.
"Kalo dari sini bagus banget yo itu!" aku berkata sambil menunjuk
bangunan utama menara apartemen yang baru dibangun yang diberi lampu-
lampu kecil diatas tiap jendelanya.
"Bagus apa?" katanya menggodaku sambil mendorongku tapi karena aku
tetap diam ditempat, dia jadinya memelukku dari belakang, sebentar
saja, kemudian dia memisahkan diri. Dan berdiri dibelakangku.
"Udah?"
"Udah"
"Suaranya keras banget!"
"Ih ngeres, nggak-nggak-nggak!" aku tertawa perlahan.
"Keras banget, bener!"
"Yaa.. gimana lagi, emang dari sononya kayak gitu!" Katanya sambil
mencubitku.
"Rat, kita mbaliknya kesana nanti aja ya. Disini dulu saja sebentar!"
"Ngapain disini, bau!"
"Ala cuek aja!" Aku menarik tangannya perlahan sehingga dia berada
disebelahku. Kami terdiam beberapa saat demi menyaksikan pemandangan
yang memang indah justru dikegelapan malam.
"Mas katanya kalo berduaan dikegelapan kayak gini, pihak ketiga adalah
setan!"
"Iya, setannya bisa kayak aku atau kayak kamu!"
"Apa iya? Setan kok manis kayak gini!"
Aku melihatnya dikegelapan malam, tingginya hanya sebahuku lebih
sedikit, tersenyum manis (emang manis bener kalo Ratih tersenyum).
Entah kenapa tiba-tiba aku merangkulkan tanganku kepinggulnya dan
menariknya mendekat kearahku. Tubuhnya menempel ketubuhku dan aku
merasakan hangat tubuhnya dipinggul menembus kain-kain pakaian kami
(setidaknya empat lapis, celana dalamnya, celana jeansnya, celana
pantalon dan celana dalamku).
"Tuh setannya Mas Ari khan?"
"Apa iya, masak gini aja setan?"
"Ya iya, kalo didiemin nanti kemana-mana"
"Apanya?"
"Tanganmu itu!"
"Lho emangnya tanganku ngapain?"
"Nggak!"
"Ratih-ratih, kamu memang manis!"
"Gombal!"
"Ya udah, kami nggak manis tapi muanis banget!" Sambil tertawa kecil
aku semakin merapatkan pinggulnya kearahku. Sesekali aku merasakan
daging pantatnya yang empuk tapi liat dan hangat.
"Nggg...!" Dia merengek manja dan merapatkan punggungnya kedadaku
sehingga sekarang dia berada didepanku. Kali ini aku merangkulkan
tanganku sehingga telapak tangannya berada diatas perutnya sehingga
otomatis pantatnya tepat mendarat empuk didepan selangkanganku.
Kadangkala dalam situasi seperti itu aku bisa menahan diri untuk tidak
ereksi sehingga tidak terlihat bernafsu, sehingga kehangatan pantat
besarnya itu tidak bisa membuat kontolku bangkit meskipun tadi sempat
terbangkit juga. Aku menggerakkan tanganku satunya sehingga keduanya
berada diatas perutnya. Ada sedikit kerutan lemak, tetapi secara umum
Ratih seksi sekali.
"Nggak ngganjel khan?"
"Apanya?"
"Ini" sambil berkata aku menekankan pinggulku sehingga terasa
keempukan pantatnya mengalirkan kehangatan dibatang kontolku.
"Kok masih empuk mas?" Pertanyaan lugas tapi akibatnya sedikit
merangsangku sehingga akhirnya kontolku mulai bergerak membesar. Aku
masih merangkul perutnya.
"Siapa bilang, tunggu aja sebentar lagi, kalo marah doi nakutin lho!"
"Takut apaan? Aku khan mahasiswa. He..he nggak ada hubungannya ya
mas!" Sambil berkata-kata Ratih bergerak-gerak kekiri dan kekanan
sehingga otomatis seperti mengelus-elus batang kontolku yang segera
bangkit dengan cepat dan tak berapa lama kemudian udah mengeras
dibalik celana dalamku. Untung tadi posisinya bener sehingga tidak
terasa sakit karena tepat berada diantara belahan pantatnya itu. Tapi
terasa sekali keras, ditambah lagi celana kain yang aku pakai semakin
mengalirkan 'kekerasan' itu.
Beberapa saat kami berdua terdiam demi merasakan sesuatu telah
mengalir diantara kami. Aku merasakan empuk dan hangat pantatnya
'menakup' batang kontolku. Entah apa yang dirasakan Ratih, merasakan
silinder panjang dan keras diantara bongkahan pantatnya.
"Mas Ari, udah pernah begituan?"
"Begituan apa? Lari lintas alam!"
"Sst... nggak seneng aku!"
"Kalau nggak seneng, ya udah putus aja!"
"Iya khan, sukanya bercanda melulu!"
"Aku memang anggota Srimulat kok!" Aku menggerakkan tangan kananku
perlahan keatas sehingga berhenti tepat dibawah payudara kanannya.
Sementara tangan kiriku aku gerakkan kebawah sedikit sehingga mungkin
pas di ujung area jembutnya. Ratih kurasakan agak menempelkan tubuhnya
lebih erat kedadaku. Aku merasakan punggungnya yang lebar menempel
hangat didadaku, rambutnya yang sebahu tercium harum sekali
dihidungku. Aku merasakan adanya peningkatan dari detak jantungnya
terasa ditangan kananku.
"Mas...!"
"Apa?"
"Nggak!"
"Kamu kok sukanya gitu, ngomong terus nggak diterusin, jadinya khan
nggantung"
"Anu..... tangannya dinaikin dikit dong!" Pasti yang dimaksudkannya
adalah tangan kananku yang berada pas dilembah payudaranya.
"Nggak ah, aku takut ketinggian!"
"Tu khan, serius dong!" Belum selesai dia mengucapkan kalimatnya,
tangan kananku aku tangkupkan pas diatas payudaranya. Emang kecil
karena hanya terasa seperti gundukan kecil saja. Dengan gerakan
seperti tidak sengaja aku menggerakkan tanganku kebawah sehingga
mengelusnya secara perlahan. Aku merasakan tubuhnya bergerak sedikit
seperti tergial. Dia memegang tangan kiriku.
"Kecil ya mas!" suaranya berbisik perlahan nyaris terdengar seperti
mendesah.
"He-eh, tahu sebabnya. Karena jatahnya dipake buat nggede'in ini!"
Sambil berkata itu aku menggoyangkan pinggulku kekiri dan kekanan
sehingga batang kontolku yang mulai kehilangan 'tegangan' kembali
menegang demi ditekan kearea diantara dua bongkahan besar pantatnya
itu.
"Hhhh.... ini khan buatan yang diatas sana!"
"Heeh, kamu harus bersyukur!"
Sambil terus bercakap-cakap aku terus melakukan rabaan-rabaan
dipayudaranya itu. Sementara tangan kiriku mulai berani mendekat ke
area venusnya yang menggunduk meskipun dia dalam posisi berdiri, tanpa
ada hambatan sedikitpun darinya. Detak jantungnya terasa semakin cepat
saja. Sebentar kemudian terdengar sesekali suara nafas tertahannya.
"Rat?"
"He eh?"
"Kamu udah pernah begituan?"
"Belum pernah, cuman udah pernah ngrasa'in enaknya"
"Kok bisa?"
"Pake ini!" Sambil berkata dia mengangkat tangannya dan jemari
tengahnya diangkat sehingga aku tahu maksudnya.
"Emang bisa enak?"
"Tinggal gimana caranya khan!" suaranya mulai keluar nada-nada manja
yang erotis.
"Jadi kamu udah nggak...?"
"He-eh, kenapa keberatan? Mas Ari pasti juga udah nggak toh?"
"Iya"
"Pake ini juga?" Katanya sambil mengangkat tangannya lagi dan
membentangkan jemarinya.
"Enggak!"
"Lha pake apa?"
"Pake ini!" Sambil berkata tersebut aku menggerakkan tangan kiriku dan
menyapu kehangatan selangkangannya. Ratih merapatkan tubuhnya demi
merasakan elusan diarea vaginanya. Aku nggak hanya menyapunya sekali
tapi menggerakkan jemariku menggeranyanginya dan kira-kira pas diarea
diatas klitorisnya aku mengucek-nguceknya perlahan. Sementara tangan
kananku aku selipkan diantara sweaternya dan segera menyentuh perutnya
yang hangat dan keatas terus sampai kutemukan kain bra-nya dan
jemariku mencari-cari celah dibawahnya dan segera ketika ketemu segera
semua jemarinya menyelinap masuk dan menemukan daging yang empuk
walaupun kecil tapi dihiasi oleh daging liat seukuran batang rokok
yang terasa keras dan mengacung. Aku menjepitnya dengan jari telunjuk
dan jari tengah dan memutar-mutarnya perlahan. Aku merasakan tubuh
Ratih mengejang demi merasakan rabaanku. Kontolku untuk kesekian
kalinya menegang keras sekali dan aku merasakan nafsuku semakin
memuncak demi merasakan getaran tubuhnya disekujur tubuhku.
"Rat, kita matiin lampunya yuk!"
"He..hh!" suaranya he-ehnya terdengar begitu manja. Efeknya dari
telinga langsung seperti menggosok kepala penisku sehingga seperti
mengedutkan aliran darah dalam penisku. Aku mematikan saklar dan
menariknya masuk kekamar mandi tersebut. Karena gelap aku pikir tak
perlu menutup pintu sehingga dari dalam ruangan yang gelap terlihat
ruangan luar yang agak lebih terang. Aku menariknya dan mendorongnya
ketembok sehingga tangannya menumpu pada tembok pada posisi berdiri.
Perlahan-lahan aku membuka kancing celana jeansnya dan menarik
resluitingnya kebawah. Aku menariknya kebawah sampai kira-kira sepuluh
centimeter dari lutut. Sekarang terasa kain lembut celana dalamnya
ditanganku sedikit terasa lembab, mungkin karena air. Aku menariknya
perlahan-lahan juga sehingga sekarang Ratih tidak memakai apa-apa lagi
dibawah.
Perlahan-lahan sekali aku menggerakkan tanganku keselangkangannya dan
menemukan segerumbulan rambut yang halus tapi nggak terlalu lebat.
Sehingga pada elusan pertama langsung kurasakan daging bibir
vaginanya, rasanya sebagian halus seperti bagian dalam bibir, basah
dan licin, sebagian lain seperti kulit di sisi bagian luar siku
tangan. Aku menyeruakkan jemariku kedalam ketebalan bibir-bibir
vaginanya itu dan menemukan kelicinan akibat mulai keluarnya cairan
vaginanya (bagi cowok yang belum pernah merasakan licinnya cairan itu,
coba deh kalian masturbasi atau rangsang penis kalian sampai keluar
cairan bening - bukan sperma lho - dari ujung penis kalian, nah kira-
kira seperti itulah cairan vagina itu cuman lebih kental lagi dan
berbau khas yang tak sanggup aku deskripsikan dengan baik sampai
sekarang).
Ratih semakin menempelkan tubuhnya ditubuhku dan aku bisa merasakan
langsung betapa dahsyatnya pantatnya sampai mendorongku kebelakang.
Aku terus mengelus-elus vaginanya sampai aku merasa Ratih betul-betul
udah naik. Aku sendiri sebenarnya udah nggak kuat banget.
"Mas Ari!"
"Apa, sayang!"
"Pelan-pelan ..ya...mas!" Aku betul-betul udah nggak kuat lagi. Aku
mendorong punggungnya sehingga dia menungging. Nggak perlu bersudut 90
derajat untuk membuat vaginanya menghadapku, baru sekitar miring 45
derajat pantatnya telah mendongakkan vaginanya tepat setinggi penisku
berada. Aku mengeluarkan penisku dari dalam celana dan merasakan
kebebasan ketika batangnya menjulur keluar dengan bebas dan segera aku
mengarahkannya kevaginanya didalam kegelapan. Aku menggerak-
gerakkannya sehingga terasa berada diantara cekungan bibir-bibir
vaginanya.
"Udah....pas belum?" aku bertanya nyaris berbisik.
"He..eh!"
Aku mendorongnya perlahan-lahan. Terasa seperti mendorongnya kedaging
masif saja, tidak ada kemajuan yang berarti. Rasanya kepala penisku
masih tetap ditempatnya, tidak ada celah yang terbelah.
"Rat, buka paha kamu dikit dong! .............. Nggak bisa masuk nih"
aku berbisik dalam keadaan terangsang berat. Ratih menggerakkan
kakinya membuka tapi hanya selebar celananya yang mengikat kedua
pahanya. Aku kembali mendorongkan pinggulku mendorong 'ujung tombakku'
untuk masuk. Kembali terasa mentok. Aku mengambil posisi lagi.
"Kayaknya nggak pas deh mas!" sambil berkata demikian Ratih merenggut
kepala batangku, meremasnya sebentar kemudian mengarahkannya
kevaginanya. Kali ini nafsuku semakin memuncak demi merasakan kepala
batangku mulai terasa terjepit. Aku terus mendorongnya perlahan
sehingga seluruh kepala penisku mulai menancap, perlu usaha keras
untuk melakukannya. Tangan kananku memegangi bagian luar pantatnya dan
tangan kiriku memegangi pangkal batangku untuk menjaganya agar tidak
terlepas dari jalurnya. Aku berhenti sejenak untuk mengambil nafas dan
mendorongnya perlahan-lahan kembali. Ratih menumpukan tubuhnya dengan
dua tangannya didinding kamar mandi itu. Kembali rasanya seperti
menemukan tembok daging yang liat.
"Terus mas!" Ratih berbisik mesra membuatku terus bertenaga untuk
menaklukkannya. Aku mendorongnya sedikit kuat dan kali berhasil
memasukkan sekitar 5 cm lagi sehingga ditambah panjang kepala
batangnya maka lebih dari separuh batangku telah masuk kedalam
vaginanya. Lagi-lagi ini perlu usaha keras karena daya cengkeramnya
ternyata jauh lebih kuat lagi. Bukan jepitan yang pasif tapi seperti
mengalirkan denyutan darah dan urat-uratnya keseluruh batang penisku
yang masuk, sehingga seperti gerak peristaltik dalam ilmu biologi.
"Ratih .. sayang!"
"Mas Ari!"
Dengan genjotan terakhir, akhirnya berhasil pula seluruh batangku
masuk. Aku terdiam beberapa saat demi merasakan tubuhku seperti
dipancangkan oleh cengkeram dahsyat lubang vaginanya. Perlahan lahan
aku memasangkan kedua tanganku memegangi pantatnya dan mulai
menggunakannya sebagai tumpuan untuk menarik penisku keluar. Perlahan-
lahan tapi pasti penisku mulai bergerak keluar dari cengkeramannya dan
ketika seluruh batangku mulai terasa bebas dari jepitannya aku
mendorongnya lagi. Kali ini tidak seketat tadi, mungkin karena ototnya
telah mengembang. Aku mulai bergerak dengan teratur dengan tempo yang
lambat sekali sehingga dapat kurasakan setiap inci permukaan lubang
vaginanya yang seperti daging ikan cumi yang masih mentah tapi hangat.
Setiap dua atau tiga kali tusuk dan tarik, aku berhenti sejenak demi
merasakan akan ejakulasi. Demikian seterusnya mungkin sampai sekitar 5
menitan, entah berapa kali aku menusukkan batang kontolku kedalam
vaginanya, yang jelas setiap kali kulakukan, rasa nikmatnya semakin
bertambah saja dan pas dekat-dekat ejakulasi aku menggerakkan batang
kontolku menusuk-nusuknya dengan sedikit cepat. Aku mendengar suara
sesekali seperti bunyi kecipak yang keluar akibat benturan buah
pelirku dengan selangkangannya atau akibat letupan jepitan daging
vaginanya dikepala kontolku yang menimbulkan getaran suara itu.
Rasanya merangsang sekali. Jika kita menyenggamai seseorang dan
mendengar kecipak bunyi divaginanya akibat dari gerakan kita, rasanya
seperti menegaskan bahwa vagina seseorang itu udah layak untuk kita
senggamai. Apalagi jika dipadukan dengan bunyi rengekannya dibibirnya
dan gerakan-gerakan tak terkontrolnya setiap kali bunyi itu terdengar.
Ketika sampai waktunya aku menarik batang kontolku keluar dan berjalan
tertatih-tatih kepinggiran tembok disebelah Ratih yang masih
menungging dan mengocoknya dengan cepat dan ketika keluar aku
merasakan seperti seluruh cairan didalam tubuhku tersedot mengalir
melalui saluran dalam kontolku dan menyembur keluar dengan kuat.
Setiap semburannya mengejangkan tubuhku, pantatku terasa seperti kaku,
lututku gemetaran dan dadaku berdetak cepat sekali. Aku segera mencari
pegangan ditembok, kalo tidak aku bisa terjatuh dilantai. Sampai
beberapa saat aku masih berpegangan ditembok dan merasakan kontolku
mulai melemas.
Aku menoleh dan melihatnya dalam kegelapan telah merapikan pakaiannya.
Aku pun dengan tangan yang masih gemetar merapikan pakaianku lagi.
Tanpa membersihkannya aku memasukkan penisku kedalam celana dalam dan
merapikan celana kainku lagi. Aku mencuci tanganku yang berlepotan
sperma dan bau dari vaginanya. Dan menuntunnya keluar ruangan.
"Kamu hebat, sayang!"
"Mas Ari jahat, aku belum nyampai! Hutang lho!" dia merengek dan
meletakkan tangannya dan dahinya dibahuku.
"Janji!" aku memeluknya Meskipun rasanya lama sekali aku melakukan
itu, ternyata kami keluar tidak lebih dari 20 menit dari tempat
pameran itu yang ketika kami kembali telah mulai ditutupi pintunya.
"Ratih tadi kemana toh? Dicari pak Bambang tadi!"
"Aku nyari boneka di Hero sama mas Ari!" Bisa juga dia menjawab
sekenanya. Dalam hati aku berkata 'udah dapat khan Rat! Boneka yang
bisa nyemprot!'. Aku berusaha tetap dinaungan kegelapan agar tidak
terlihat wajahku yang pasti berantakan sekali. Tapi tidak demikian
dengan Ratih, karena wajahnya sehari-hari memang begitu. Wajahnya khas
wajah erotis, yang cenderung kayak baru bangun tidur atau sedang
nggantung atau sedang nafsu.
Malam itu kami berdua pulang agak malam, karena aku mengajaknya makan
dilesehan dan ngobrol disertai perasaan baru tentang apa yang terjadi
antara kami. Beberapa hari kemudian 'terpaksa' aku harus menyelesaikan
tugasku tadi. Kami melakukannya dengan liar bagaikan dua ekor kuda
yang sedang menyalurkan birahi.
(bersambung)

Tidak ada komentar: