Kamis, 13 Agustus 2009

Aku dan Ratih (3)

"Mas Ari....... langsung cepet ....aja.. ya ...!" Kayaknya dia udah
nggak tahan lagi dan nggak punya pilihan lain. Terpaksa, keluar cepet
atau tidak, aku tarik tubuhnya kepinggir ranjang sehingga area
vaginanya pas dipinggir ranjang. Kakinya masih terangkat sendiri
keatas sehingga semakin mendongakkan selangkangannya. Aku dorongin
lagi kontolku kuat-kuat menghunjam ke kedalaman vaginanya dan
berhenti. Aku letakkan tanganku diantara kedua ketiaknya terus aku
luruskan kakiku sehingga tubuhku lurus membentuk sudut dengan kontolku
pas menghunjam vaginanya pada sudut yang sesuai. Kakinya terus
kurasakan dijepitkannya kepinggulku.


Aku menghitung satu...dua...tiga... dan mulai menarik kontolku dan menghunjamkannya kembali dengan sekuat tenaga dan tanpa menghentikannya di setiap gerakan. Tidak terlalu cepat karena hambatan dari daya cengkeram
vaginanya tapi cukup kuat dan konstan. Aku menghitung gerakanku
seperti saat melakukan aerobic. Satu ... dua ... tiga ... empat ....
lima ... enam ... tujuh ... delapan .... satu ... dst. Setiap kali
dengan gerakan menghentak yang semakin kuat. Ternyata nasehatnya boleh
juga. Meski masih merasakan nikmat itu, aku tidak lagi merasakannya
sekuat tadi. Aku terus bersemangat menggenjot. Entah udah berapa kali
hitungan satu sampai delapan aku lakukan. Aku hanya merasakan tubuhku
mulai memanas dan keluar keringat, demikian juga Ratih yang kurasakan
basah dibagian dalam pahanya. Untungnya ranjangnya ternyata bagus juga
konstruksinya sehingga tak terlalu bersuara kecuali sedikit suara duk-
duk-duk setiap kali pinggulku menghunjam dalam-dalam menghantam bagian
selangkangannya. Cuman suara Ratih jadi berisik sekali, demikian juga
suara vaginanya yang mulai berkecipakan 'riang' memenuhi kamarnya itu.
"Nggak.....ada.... yang..... dengar .... ya? ..... hhhhh .....
kamu.... berisik.... banget!" sambil bergerak aku mencoba berkata-
kata, jadinya agak sedikit tergagap-gagap. Sambil memandangiku,
wajahnya yang bergerak-gerak seirama dengan gerakanku, menggeleng-
geleng. Kembali beberapa saat kemudian suaranya berisik.
"Ssssss....hhhh....ooohhhh.....!" Hangat nafasnya memenuhi wajahku
yang udah mulai memerah. Sedikit demi sedikit diantara gerakanku aku
merasakan kontolku mulai terasa panas. Mungkin produksi pelumasnya
udah mulai berkurang. Tapi karena itu juga rasa nikmatnya jadi
melonjak tinggi-tinggi, sehingga bagiku terasa jelas dibagian mana aku
berada. Hanya sekian saja dari puncak membuatku terus dengan sisa-sisa
tenaga menggenjotnya kuat.
Tanpa kusadari waktunya, tiba-tiba Ratih mencengkeramkan tangannya
dibagian samping dadaku sehingga kurasakan kukunya menggores kulitku
kuat, aku rasakan perih tiba-tiba. Yang dahsyat, lubang vaginanya
tiba-tiba kurasakan menjepit penisku kuat-kuat, bukan sekali tapi
seperti gerakan tangan suster yang sedang memompa alat pengetes
tekanan darah (tahu khan?), beberapa kali dengan sangat kuat, dengan
timing yang tepat pula, yaitu setiap gerakan mengempis pas dengan
gerakanku menarik. Jadinya seperti memijat-mijat dengan kuat.
"Mas......hhhhh...OOOOOHHHHH!!!" Suaranya yang keluar tak kalah
dahsyatnya. Mungkin karena sifat kelembaman, gerakan tubuhku tidak
terhenti oleh kejadian itu. Jadi terus aku terus menggenjot ditengah-
tengah orgasmenya itu. Apalagi kurasakan puncak udah dekat sekali.
Kurasakan tubuhnya yang menegang sekian lama diantara genjotanku yang
semakin kuat saja menyambut puncak yang semakin dekat.
Tiga ...... Empat .... lima.... 6.7.8.9.10......... Aku tiba-tiba
merasakan aliran spermaku tanpa bisa kutahan menyemprot kuat kedalam
liang vaginanya mengiringi rasa nikmat luar biasa yang kudapat. Tiba-
tiba pula denyutan vaginanya yang baru saja sekian detik yang lalu
kurasakan, kini kurasakan lagi seiring dengan mengalirnya semprotan
spermaku didalam tubuhnya. Tampaknya Ratih mengalami lagi orgasme,
semacam orgasme bayangan yang biasanya menyertai sekian detik setelah
yang pertama terutama jika terjadi jeda sekian detik saja dengan
orgasme sang pria dan orgasme yang pertama belum lagi reda, biasanya
karena rasa hangat akibat sperma menyentuh dinding-dinding rahim atau
karena gerakan menyentak yang biasa dilakukan dengan sangat kuat oleh
pihak pria yang sedang ejakulasi (peristiwa ini bukan karangan, ini
pernah kualami, rasanya luar biasa karena lebih lama dan terasa
diseluruh tubuh dibandingkan yang pertama).
Aku terus menggenjot dengan kuat menghabiskan 'cadangan amunisi' yang
aku punya sampai aku merasakan kontolku udah seperti kehilangan
tegangan. Aku langsung ambruk menimpa tubuhnya, kontolku masih
menancap penuh, kakiku langsung berlutut. Tubuhku udah basah kuyup
oleh keringat. Mungkin orgasme dengan berkeringat seperti itu memang
jauh lebih nikmat karena setelahnya ada perasaan gerah tapi lega. Yang
tiba-tiba baru kusadari, aku merasakan tubuh Ratih tegang. Kakinya
bahkan masih tegang menekuk meskipun udah merebah tertimpa tubuhku.
Mungkin saja dia mengalami ekstase. Dengan sisa-sisa tenaga aku
bangkit sehingga penisku tercabut. Mudah saja karena udah lemas. Aku
menyaksikan pemandangan yang luar biasa. Ratih terlentang, tangannya
terangkat keatas dua-duanya. Wajahnya terangkat keatas, matanya
terbuka sedikit dan memandang dengan kosong kelangit-langit, bibirnya
terbuka sedikit, dadanya naik turun dengan agak cepat tapi teratur.
Kakinya bahkan tak menutup, terbuka lebar kekiri dan keatas sehingga
selangkangannya yang udah nggak karuan bentuknya, penuh cairan dan
rambut-rambutnya bergumpal-gumpal lengket, terlihat jelas, tampak
merah tua dan masih merangsang. Bekas genjotan kontolku tadi terlihat
dari masih terbukanya celah lubang vaginanya, nggak lebar tapi
menampakkan kedalamannya. Aku menggariskan kuku telunjukku mulai dari
lutut menelusuri bagian dalam pahanya yang basah sampai kearea dekat
vaginanya. Benar juga, aku merasakan tubuhnya bergetar cepat diiringi
suara lenguhan perlahan. Kakinya perlahan sekali bergerak menutup,
tapi hanya sedikit gerakan terus berhenti lagi, sehingga
selangkangannya masih terbuka lebar. Aku menggariskan lagi kukuku
memutari area vaginanya. Kembali tubuhnya bergetar cepat. Aku pernah
membaca bahwa ketika seseorang berada dalam kondisi ekstase seperti
itu, rangsangan biasa akan terasa luar biasa dan bisa memperlama
ekstasenya, bahkan usapan halus rambut diputing bisa membuatnya
bergetar hebat oleh rasa nikmat. Ekstase sendiri itu adalah kondisi
orgasme yang grafiknya bukan seperti gunung (naik tinggi terus
langsung turun), tapi seperti bentuk lunas perahu dibalik (naik terus
berhenti dipuncak ketinggiannya sampai beberapa lama baru turun). Aku
ingin betul-betul memberinya kepuasan terhebat dalam hidupnya, jadi
selama Ratih masih 'belum sadar' dari ekstase-nya itu aku ingin
memberinya sensasi-sensasi. Dengan mengabaikan awut-awutannya area
selangkangannya, aku membuka kembali bibir-bibir labianya dan
menemukan klitorisnya berwarna merah gelap, jauh lebih gelap dari
tadi. Aku menjilatnya perlahan-lahan dan kembali merasakan getaran
hebat seperti menggigil dipahanya, membuatku terus memutar-mutar
lidahku dan kadang-kadang mencucukkannya secara kontinyu dan konstan
ke klitorisnya. Getaran-getaran menggigilnya terasa kuat diselingi
gerakan menggelinjang tak terkontrol. Aku ingin menyodokkannya
kontolku kembali kedalam liang vaginanya, tapi apa daya doi udah
tergolek lemas, meskipun aktivitasku mulai membangkitkan lagi
gairahku.
Akhir kata, malam itu aku sanggup mempertahankan ekstasenya sampai
hampir satu jam. Keesokan harinya aku tidur semalam suntuk, nggak
kuliah. Ketika lusa harinya aku mencoba menelponnya, aku dapat kabar
bahwa Ratih masuk rumah sakit, katanya doi mengalami shock. Aku jadi
was-was jangan-jangan terjadi sesuatu dan itu karena perbuatan kami
kemarin, walaupun pas aku pulang kemarin Ratih masih sanggup
mengantarku sampai pintu gerbang kostnya. Ternyata Ratih hanya
mengalami penurunan tensi saja, dan kata dokter itu akibat aktivitas
yang melelahkan. Sambil menceritakan itu Ratih sesekali tersenyum
sambil melirikku.
Kejadian itu adalah yang terakhir antara aku dan Ratih karena beberapa
minggu kemudian pacar Ratih telah kembali kekota kami. Sesekali kami
saling kontak lewat email atau telpon, tapi tak satupun pernah
mengungkit-ngungkit peristiwa hebat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar